Kamis, 16 April 2009

Asuhan Keperawatan Klien dengan TRAKSI

A. DEFINISI
Traksi adalah Suatu pemasangan gaya tarikan pada bagian tubuh. Traksi digunakan untuk meminimalkan spasme otot ; untuk mereduksi, mensejajarkan, dan mengimobilisasi fraktur ; untuk mengurangi deformitas, dan untuk menambah ruangan diantara kedua permukaan patahan tulang. Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang diinginka untuk mendapatkan efek terapeutik. Faktor-faktor yang mengganggu keefekktifan tarikan traksi harus dihilangkan (Smeltzer & Bare, 2001 ).
Traksi merupakan metode lain yang baik untuk mempertahankan reduksi ektermitas yang mengalami fraktur (Wilson, 1995 ).
Keuntungan pemakaian traksi
1. Menurunkan nyeri spasme
2. Mengoreksi dan mencegah deformitas
3. Mengimobilisasi sendi yang sakit
Kerugian pemakaian traksi
1. Perawatan RS lebih lama
2. Mobilisasi terbatas
3. Penggunaan alat-alat lebih banyak.
Beban traksi
1. Dewasa = 5 - 7 Kg
2. Anak = 1/13 x BB (Barbara, 1998).


B. INDIKASI
1. Traksi rusell digunakan pada pasien fraktur pada plato tibia
2. Traksi buck, indikasi yang paling sering untuk jenis traksi ini adalah untuk mengistirahatkan sendi lutut pasca trauma sebelum lutut tersebut diperiksa dan diperbaiki lebih lanjut
3. Traksi Dunlop merupakan traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal diberikan pada humerus dalam posisi abduksi, dan traksi vertical diberikan pada lengan bawah dalm posisi flexsi.
4. Traksi kulit Bryani sering digunakan untuk merawat anak kecil yang mengalami patah tulang paha
5. Traksi rangka seimbang ini terutama dipakai untuk merawat patah tulang pada korpus pemoralis orang dewasa
6. Traksi 90-90-90 pada fraktur tulang femur pada anak-anak usia 3 thn sampai dewasa muda (Barbara, 1998).


C. TUJUAN PEMASANGAN
Traksi digunakan untuk meminimalkan spasme otot, untuk mereduksi, mensejajarkan, dan mengimobilisasi fraktur, untuk mengurangi deformitas, untuk menambah ruang diantara dua permukaan antara patahan tulang.
1. Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang diinginkan untuk mendapatkan efek terapeutik, tetapi kadang-kadang traksi harus dipasang dengan arah yang lebih dari satu untuk mendapatkan garis tarikan yang diinginkan (Barbara, 1998).


D. JENIS- JENIS TRAKSI
1. Traksi kulit
Traksi kulit digunakan untuk mengontrol sepasme kulit dan memberikan imobilisasi . Traksi kulit apendikuler ( hanya pada ektermitas digunakan pada orang dewasa) termasuk “ traksi ektensi Buck, traksi russell, dan traksi Dunlop”.
a. Traksi buck
Ektensi buck ( unilateral/ bilateral ) adalah bentuk traksi kulit dimana tarikan diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi parsial atau temporer yang diinginkan . Digunakan untuk memberikan rasa nyaman setelah cidera pinggulsebelum dilakukan fiksasi bedah (Smeltzer & Bare,2001 ).
Traksi buck merupakan traksi kulit yang paling sederhana, dan paling tepat bila dipasang untuk anak muda dalam jangka waktu yang pendek. Indikasi yang paling sering untuk jenis traksi ini adalah untuk mengistirahatkan sendi lutut pasca trauma sebelum lutut tersebut diperiksa dan diperbaiki lebih lanjut (Wilson, 1995 ).
Mula- mula selapis tebal semen kulit, tingtura benzoid atau pelekat elastis dipasang pada kulit penderita dibawah lutut. Kemudian disebelah distal dibawah lutut diberi stoking tubular yang digulung, kemudian plester diberikan pada bagian medikal dan lateral dari stoking tersebut lalu stoking tersebut dibungkus lagi dengan perban elastis. Ujung plester traksi pada pergelangan kaki di hubungkan dengan blok penyebar guna mencegah penekanan pada maleoli. Seutas tambang yang diikat ketengah blok penyebar tersebut kemudian dijulurkan melalui kerekan pada kaki tempat tidur. Jarang dibutuhkan berat lebih dari 5 lb. penggunaan traksi kulit ini dapat menimbulkan banyak komplikasi. Ban perban elastis yang melingkar dapat mengganggu sirkulasi yang menuju kekaki penderita, yang sebelumnya sudah menderita penyakit vaskular. Alergi kulit terhadap plester juga dapat menumbuhkan masalah. Kalau tidak dirawat dengan baik mungkin akan menimbulkan ulserasi akibat tekanan pada maleolus. Traksi berlebih dapat merusak kulit yang rapuh pada orang yang berusia lanjut. Bahkan untuk peenderita dewasa lebih disukai traksi pin rangka, terutama bila perawatan harus dilakukan selama beberapa hari.
b. Traksi Russell
Dapat digunakan pada fraktur plato tibia, menyokong lutut yang fleksi pada penggantung dan memberikan gaya tarik horizontal melalui pita traksi balutan elastis ketungkai bawah. Bila perlu, tungkai dapat disangga dengan bantal agar lutut benar- benar fleksi dan menghindari tekanan pada tumit (Smeltzer & Bare, 2001 ).
Masalah yang paling sering dilihat pada traksi Russell adalah bergesernya penderita kebagian kaki ketempat tidur,sehingga kerekan bagian distal saling berbenturan dan beban turun kelantai. Mungkin perlu ditempatkan blok-blok dibawah kaki tempat tidur sehingga dapat memperoleh bantuan dari gaya tarik bumi (Wilson, 1995).
Walaupun traksi rangka seimbang dapat digunakan untuk menangani hampir semua fraktur femur, reduksi untuk fraktur panggul mungkin lebih sering diperoleh dengan memakai traksi Russell dalam keadaan ini paha disokong oleh beban. Traksi longitudinal diberikan dengan menempatkan pin dengan posisi tranversal melalui tibia dan fibula diatas lutut. Efek dari rancangan ini adalah memberikan kekuatan traksi ( berasal dari gaya tarik vertikal beban paha dan gaya tarik horizontal dari kedua tali pada kaki ) yang segaris dengan tulang yang cidera dengan kekuatan yang sesuai. Jenis traksi paling sering digunakan untuk memberi rasa nyaman pada pasien yang menderita fraktur panggul selama evaluasi sebelum operasi dan selama persiapan pembedahan. Meskipun traksi Russell dapat digunakan sebagai tindakan keperawatan yang utama dan penting untuk patah tulang panggul pada penderita tertentu tetapi pada penderita usia lanjut dan lemah biasanya tidak dapat mengatasi bahya yang akan timbul karena berbaring terlalu lama ditempat tidur seperti dekubitus, pneumonia, dan tromboplebitis.
c. Traksi Dunlop
Adalah traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal diberikan pada lengan bawah dalam posisi fleksi.
d. Traksi kulit bryant
Traksi ini sering digunakan untuk merawat anak kecil yang mengalami patah tulang paha. Traksi Bryant sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak yang berat badannya lebih dari 30 kg. kalau batas ini dilampaui maka kulit dapat mengalami kerusakan berat.
2. Traksi skelet
Traksi skelet dipasang langsung pada tulang. Metode traksi ini digunakan paling sering untuk menangani fraktur femur, tibia, humerus dan tulang leher. Kadang- kadang skelet traksi bersifat seimbang yang menyokong ekstermitas yang terkena, memungkinkan gerakan pasien sampai batas- batas tertentu dan memungkinkan kemandirian pasien maupun asuh keperawatan sementara traksi yang efektif tetap dipertahankan yang termasuk skelet traksi adalah sebagai berikut (Smeltzer & Bare,2001 ).
a. Traksi rangka seimbang
Traksi rangka seimbang ini terutama dipakai untuk merawat patah tulang pada korpus femoralis orng dewasa. Sekilas pandangan traksi ini tampak komplek, tetapi sesunguhnya hanyalah satu pin rangka yang ditempatkan tramversal melalui femur distal atau tibia proksimal. Dipasang pancang traksi dan tali traksi utama dipasang pada pancang tersebut. Ektermitas pasien ditempatkan dengan posisi panggul dan lutut membentuk sekitar 35° , kerekan primer disesuaikan sedemikian sehingga garis ketegangan koaksial dengan sumbu longitudinal femur yang mengalami fraktur. Beban yang cukup berat dipasang sedemikian rupa mencapai panjang normalnya. Paha penderita disokong oleh alat parson yang dipasang pada bidai tomas alat parson dan ektermitas itu sendiri dijulurkan dengan tali, kerekan dan beban yang sesuai sehingga kaki tergantung bebas diudara. Dengan demikian pemeliharaan penderita ditempat tidur sangat mudah. Bentuk traksi ini sangat berguna sekali untuk merawat berbagai jenis fraktur femur. Seluruh bidai dapat diadduksi atau diabduksi untuk memperbaiki deformitas angular pada bidang medle lateral fleksi panggul dan lutut lebih besar atau lebih kecil memungkinkan perbaikan lateral posisi dan angulasi alat banyak memiliki keuntungan antara lain traksi elefasi keaksial. Longitudinal pada tulang panjang yang patah, ektermitas yang cidera mudah dijangkau untuk pemeriksaan ulang status neuro vascular, dan untuk merawat luka lokal serta mempermudah perawatan oleh perawat. Seperti bentuk traksi yang mempergunakan pin rangka, pasien sebaiknya diperiksa setiap hari untuk mengetahui adanya peradangan atau infeksi sepanjang pin, geseran atau pin yang kendor dan pin telah tertarik dari tulang (Wilson, 1995 ).
b. Traksi 90-90-90
Traksi 90-90-90 sangat berguna untuk merawat anak- anak usia 3 tahun sampai dewasa muda. kontrol terhadap fragmen – fragmen pada fraktur tulang femur hamper selalu memuaskan dengan traksi 90-90-90 penderita masih dapat bergerak dengan cukup bebas diatas tempat tidur (Wilson, 1995 ).

E. PRINSIP PEMASANGAN TRAKSI
Traksi harus dipasang dengan arah lebih dari satu untuk mendapatkan garis tarikan yang diinginkan. Dengan cara ini, bagian garis tarikan yang pertama berkontraksi terhadap garis tarikan lainnya. Garis-garis tersebut dikenal sebagai vektor gaya. Resultanta adalah gaya tarikan yang sebenarnya terletak di tempat diantara kedua garis tarikan tersebut. Efek traksi yang dipasang harus dievaluasi dengan sinar X, dan mungkin diperlukan penyesuaian. Bila otot dan jaringan lunak sudah rileks, berat yang digunakan harus diganti untuk memperoleh gaya tarikan yang diinginkan.
Traksi lurus atau langsung memberikan gaya tarikan dalam satu garis lurus dengan bagian tubuh berbaring di tempat tidur. Traksi ektensi buck dan traksi pelvis merupakan contoh traksi lurus.
Traksi suspensi seimbang memberikan dukungan pada ektermitas yang sakit diatas tempat tidur sehingga memungkinkan mobilisasi pasien sampai batas tertentu yanpa terputus garis tarikan. Tarikan dapat dilakukan pada kulit ( traksi kulit ) atau langsung kesekelet tubuh (traksi skelet). Cara pemasangan ditentukan oleh tujuan traksi
Traksi dapat dipasang dengan tangan (traksi manual). Ini merupakan traksi yang sangat sementara yang bisa digunakan pada saat pemasangan gips, harus dipikirkan adanya kontraksi
Pada setiap pemasangan traksi, harus dipikirkan adanya kontraksi adalah gaya yang bekerja dengan arah yang berlawanan ( hukum Newton III mengenai gerak, menyebutkan bahwa bila ada aksi maka akan terjadi reaksi dengan besar yang sama namun arahnya yang berlawanan ) umumnya berat badan pasien dan pengaturan posisi tempat tidur mampu memberikan kontraksi.
Walaupun hanya traksi untuk ektermitas bawah yang dijelaskan secara terinci, tetapi semua prinsip-prinsip ini berlaku untuk mengatasi patah tulang pada ektermitas atas.
Imobilisasi dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan otot dan densitas tulang dengan agak cepat, terapi fisik harus dimulai segera agar dapat mengurangi keadaan ini.misalnya, seorang dengan patah tulang femur diharuskan memakai kruk untuk waktu yang lama. Rencana latihan untuk mempertahankan pergerakan ektermitas atas, dan untuk meningkatkan kekuatannya harus dimulai segera setelah cedera terjadinya (Wilson, 1995 ).

Prinsip traksi efektif :
1. Kontraksi harus dipertahankan agar traksi tetap efektif
2. Traksi harus berkesinambungan agar reduksi dan imobilisasi fraktur efektif.
3. Traksi kulit pelvis dan serviks sering digunakan untuk mengurangi spasme otot dan biasanya diberikan sebagai traksi intermiten.
4. Traksi skelet tidak boleh terputus.
5. Pemberat tidak boleh diambil kecuali bila traksi dimaksudkan intermiten. Setiap faktor yang dapat mengurangi tarikan atau mengubah garis resultanta tarikan harus dihilangkan.
6. Tubuh pasien harus dalam keadaan sejajar dengan pusat tempat tidur ketika traksi dipasang.
7. Tali tidak boleh macet
8. Pemberat harus tergantung bebas dan tidak boleh terletak pada tempat tidur atau lantai
9. Simpul pada tali atau telapak kaki tidak boleh menyentuh katrol atau kaki tempat tidur.
10. Selalu dikontrol dengan sinar roentgen ( Brunner & suddarth,2001 ).

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan foto polos sevikal
Tes diagnostic pertama yang sering dilakukan pada pasien dengan keluhan nyeri leher. Foto polos sevikal sangat penting untuk mendeteksi adanya fraktur dan subluksasi pada pasien dengan trauma leher.
2. CT Scan
Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang sevikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut.
3. MRI ( Magnetic resonance imaging )
Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imajing pilihan untuk daerah sevikal MRI dapat mendeteksi kelainan ligament maupun discus.MRI menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio dan bila bercampur dengan frekuensi radio yang dilepaskan oleh jaringan tubuh akan menghasilkan citra MRI yang berguna dalam mendiagnosis tumor, infrak, dan kelainan pada pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini, penderita tidak terpajan oleh radiasi dan tidak merasa nyeri walaupun pasien dapat mengeluh klaustrofobia dan suara logam yang mengganggu selama prosedur ini.
4. Elektrokardiografi ( EMG)
Pemeriksaan ini membantu mengetahui apakah suatu gangguan bersifat neurogenik atau tidak. Karena pasien dengan spasme otot, atritis juga mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari iritasi/ kompresi radiks, membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau kompresi.

G. PRISIP PERAWATAN TRAKSI
1. Berikan tindakan kenyamanan ( contoh: sering ubah posisi, pijatan punggung ) dan aktivitas terapeutik
2. Berikan obat sesuai indikasi contoh analgesik relaksan otot.
3. Berikan pemanasan lokal sesuai indikasi.
4. Beri penguatan pada balutan awal/ pengganti sesuai dengan indikasi, gunakan teknik aseptic dengan tepat.
5. Pertahankan linen klien tetap kering, bebas keriput.
6. Anjurkan klien menggunakan pakaian katun longgar.
7. Dorong klien untuk menggunakan manajemen stress, contoh: bimbingan imajinasi, nafas dalam.
8. Kaji derajat imobilisasi yang dihasilkan
9. Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh: edema, eritema

H. KOMPLIKASI
Dekubitus, kulit pasien diperiksa sesering mungkin mengenai tanda tekanan atau lecet. Perhatian khusus diberikan pada tonjolan tulang. Perlu diberikan intervensi awal untuk mengurangi tekanan. Perubahan posisi pasien perlu sering dilakukan dan memakai alat pelindung kulit sangat membantu. Bila risiko kerusakan kulit sangat tinggi, seperti pada pasien trauma ganda atau pada pasien lansia yang lemah, perawat harus berkonsultasi dengan dokter mengenai penggunaan tempat tidur khusus untuk membantu mencegah kerusakan kullit. Bila telah terbentuk ulkus akibat tekanan, perawat harus berkonsultasi dengan dokter mengenai penanganannya.
Kongesti paru/pneumonia. Paru pasien diauskultasi untuk mengetahui status pernapasannya. Pasien diajari untuk menarik napas dalam dan batuk-batuk untuk membantu pengembangan penuh paru-paru dan mengeluarkan skresi paru. Bila riwayat pasien dan data dasar pengkajian menunjukkan bahwa pasien mempunyai resiko tinggi mengalami komplikasi respirasi, perawat harus berkonsultasi dengan dokter mengenai penggunaan terapi khusus. Bila telah terjadi masalah respirasi, perlu diberikan terapi sesuai resep.
Konstipasi dan anoreksia. Penurunan motilitas gastrointestinal menyebabkan anorekksia dan konnstipasi. Diet tnggi serat dan tinggi cairan dapat membantu merangsanng motilitas gaster. Bila telah terjadi konstipasi, perawat dapat berkonsultasi dengan dokter mengenai penanganannya, yang mungkin meliputi pelunak tinja, laksatif, supositoria, dan enema. Untuk memmperbaiki nafsu makan pasien, harus dicatat makanan apa yang disukai pasien dan dimasukkan dalam program diet, sesuai kebutuhan.
Stasis dan infeksi saluran kemih. Pengosongan kandung kemih yang tak tuntas Karena posisi pasien di tempat tidur dapat mengakibatkan stasis dan infeksi saluran kemih. Selain itu pasien mungkin merasa bahwa menggunakan pispot di tempat tidur kurang nyaman dan membatasi cairan masuk untuk mengurangi frekuensi berkemih. Perawat harus memantau masukan cairan dan sifat kemih. Perawat harus mengajar pasien untuk meminum cairan dalam jumlah yang cukup dan berkemih tiap 2 sampai 3 jam sekali. Bila pasien memperlihatkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih, perawat segera berkonsultasi dengan dokter mengenai penanganan masalah ini.
Trombosi vena profunda. Stasis vena terjadi akibat imobilitas. Perawat harus mmengajar pasien untuk malakuka latihan tumit dan kaki dalam batas terapi traksi secara teratur sepanjang hari untuk mencegah terjadinya trombosis vena provunda (DVT). Pasien didorong untuk meminum air untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsenntrasi yang menyertainya, yang akan mengakibatkan stasis. Perawat memantau pasien terhadap terjadinya tanda DVT dan melaporkan hasil temuannya segera mungkin ke dokter untuk evaluasi definitive dan terapi.
A. Pengkkajian Keperawatan
Dampak psikologik dan fisiologik masalah musculoskeletal, alat traksi, dan imobilitas harus diperhitungkan. Traksi membatasi mobilitas dan kemandirian seseorang. Peralatannya sering terlihat mengerikan, dan pemasangannya tampak menakutkan. Kebingungan, disorientasi, dan masalah perilaku dapat terjadi pada pasien yang terkungkung pada tempat terbatas selama waktu yang cukup lama. Maka tingkat ansietas pasien dan respon psikologis terhadap traksi harus dikaji dan dipantau. Bagian tubuh yang ditraksi harus dikaji. Status neurovaskuler (misal : warna, suhu, pengisian kapiler, edema, denyut nadi, perabaan, kemampuan bergerak) dievaluasi dan dibandingkan dengan ekstremitas yang sehat. Integritas kulit harus diperhatikan.
Pengkajian fungsi system tubuh harus dilengkapi sebagai data dasar dan perlu dilakukan pengkajian terus menerus. Imobilisasi dapat menyebabkan terjadinya masalah pada system kulit, respirasi, gastrointestinal, perkemihan, dan kardiovaskuler. Masalah tersebut dapat berupa ulkus akibat tekanan, kongesti paru, statis pneumonia, konstipasi, kehilangan nafsu makan, satis kemih dan infeksi saluran kemih. Adanya nyeri tekan betis, hangat, kemerahan, atau pembengkakan atau tanda human positif (ketidaknyamanan pada betis ketika kaki didorsofleksi dengan kuat) mengarahkan adanya trombosis vena dalam. Identifikasi awal masalah yang telah muncul dan sedang berkembang memungkunkan intervensi segera untuk mengatasi masalah tersebut.

B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pada pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan utama paasien karena traksi dapat meliputi yang berikut :
1. Kurang pengetahuan mengenai program terapi
2. Ansietas yang berhubungan dengan status kesehatan dan alat traksi
3. Nyeri dam ketidaknyamanan yang berhubungan dengan traksi dan imobilisasi.
4. Kurang perwatan diri : makan, hygiene, atau toileting yang berhubungan dengan traksi
5. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan proses penyakit dan traksi

C. Intervensi
1.  Dorong klien latihan aktif untuk daerah yang dapat dilakukan
 Dorong klien pada aktivitas terapeutik dan pertahankan rangsangan lingkungan. Ex : TV, radio, kunjungan keluargaKaji derajat imobilitas yang dihasilkan karena adanya traksi dan perhatikan persepsi klien terhadap imobilisasi
2.  Tingkatkan bagian tubuh yang sakit dengan meninggikan kaki tempat tidur
 Berikan tindakan kenyamanan (contoh : sering ubah posisi, pijatan punggung) dan aktivitas terapeutik. Dorong penggunaan teknik manajemen stres (contoh: nafas dalam, visualisasi) dan sentuhan terapeutik
 Berikan pijatan lemah pada area luka sesuai toleransi bila balutan telah dilepas
 Selidiki keluhan nyeri luka, kemajuan yang tak hilang dengan analgesik
 Berikan obat sesuai indikasi, contoh: analgesik, relaksan otot
 Berikan pemanasn lokal sesuai indikasi
3.  Ubah posisi dengan sering geraka pasien dengan perlahan-lahan dan beri bantalan pada tonjolan tulang dengan pelindung
 Beri penguatan pada balutan awal sesuai dengan indikasi. Gunakan teknik aseptik dengan tepat
 Pertahankan klien tetap kering. Bebas keriput
 Anjurkan klien menggunakan pakaian katun longgar
4.  Kaji hambatan terhadap partisipasi terhadap perawatan diri
Berikan waktu yang cukup untuk melakukan tugas-tugas dan tingkatkan kesabaran
 Antisipasi kebutuhan kebersihan dan bantu klien sesuai dengan kebutuhan
5. Dorong ekspresi ketakutan masalah klien
 Diskusikan tindakan keamanan
 Dorong klien untuk menggunakan manajemen stres. Ex: bimbinan imajinasi, nafas dalam
6.  Instruksikan klien, keluarga untuk melakukan perawatan mandiri
 Dorong klien melakukan program latihan berkesinambungan
 Tekankan diet seimbang dan pemasukan cairan yang adekuat
 Anjurkan penghentian merokok
Indentifikasi tanda gejala yang memerlukan evaluasi medik. Ex: edema, eritema, dsb

Rabu, 15 April 2009

Asuhan Keperawatan Klien Dengan HEMOFILIA

A. ANATOMI FISIOLOGI
Darah merupakan cairan ekstraseluler yang terletak dalam saluran yakni pembuluh darah, yang terdiri atas pembuluh darah dan sel darah. Darah memiliki fungsi pertama, sebagai transportasi pernapasan, dimana sebagian besar oksigen diangkat oleh eritrosit dari alveoli ke organ atau jaringan tubuh, dan karbondioksida diangkut oleh jaringan oleh plasma darah menuju alveoli paru. Fungsi kedua, sebagai transportasi zat makanan, mineral, vitamin, elektrolit, dan air dari gastrointestinal menuju hati melalui proses metabolisme, baru kemudian ke organ atau jaringan tubuh lain. Funsi ketiga, teransport metabolit atau hasil sisa yakni zat yang tidak digunakan dikirim ke ginjal untukselanjutnya dikeluarkan melalui urine. Fungsi keempat, sebagai transportasi hasil suatu jaringan atau organ seperti hormon yang dihasilkan oleh kelenjar akan diangkut oleh darah. Demikian juga hasil metabolisme di hati diangkut oleh plasma menuju ke organ yang membutuhkan. Fungsi kelima, sebagai pembentuk antibodi yang dilakukan oleh plasma sel dan limfosit, leukosit yang berperan dalam fagositosis. Fungsi keenam, berperan alam mempertahankan keseimbangan asam dan basa, juga sebagai transportasi bahan-bahan yang diberikan melalui cairan yang lewat aliran darah. Dan fungsi ketujuh, sebagai hemostasis yang terletak pada plasma darah.
Proses hemostasis ini merupakan upaya untuk mempertahankan hilangnya darah akibat kerusakan pembuluh darah atau pecah. Proses homeostasis melalui berbagai tahap, yakni tahap vascular, koagulasi, serta pembersihan dan rekonstruksi.
 Tahap vascular
Tahap ini merupakan tahap awal dari kerusakan pembuluh darah, dapat terjadi vasokontriksi lokal dan retraksi, kemudian trombosit akan mengadakan agregasi, aglutinasi berperan atau akan lisis dan mengeluarkan bahan untuk proses homeostasis seperti serotonin. Kemudian, rusaknya pembuluh darah menyebabkan masuknya tromboplastin jaringan yang dapat mempercepat proses koagulasi. Demikian juga darah yang rusak di sekitar akan membantu mengurangi pendarahan yang selanjutnya.
 Tahap koagulasi.
Pada tahap koagulasi,faktor pembekuan dan zat yang menghambat koagulasi atau antikoagulan berperan dan terjadi keseimbangan. Proses koagulasi terdiri atas tiga tahap. Diawali dengan proses pembentukan aktifator protrombin, perubahan protrombin menjadi trombin. Dan perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
 Tahap pembersihan dan rekonstruksi.
Merupakan tahap akhir dalam proses hemostasis berupa proses fibrinolisis dan pembentukan jaringan baru pada jaringan yang mengalami kerusakan.
(Hidayat, 2006)
Mekanisme Pembekuan
Bahan yang turut serta dalam mekanisme pembekuan factor pembekuan dan diberi nama dengan angka romawi I sampai XIII, kecuali V. factor-faktor tersebut ialah faktor I (fibrinogen), II (protrombin), III (tromboplastin), IV (kalsium dalam bentuk ion), V (proaseleran, factor labil), VII (prokonverin, faktor stabil), VIII (AHG = Antihemophilic Globulin), IX (PTC = Plasma Thromboplastin Antecedent), XII (hageman), dan XIII (faktor stabilitas febrin).
Mekanisme pembekuan dibagi menjadi dalam 3 tahap dasar yaitu :
1. Pembentukan tromboplastin plasma intrinsik yang juga disebut tromboplastogenesis, dimulai dengan trombosit, terutama faktor trombosit III dan faktor pembekuan lain dengan pembentukan kolagen. Faktor pembekuan tersebut adalah faktor IV, V, VIII, IX, X, XI, XII kemudian faktor III dan VII.
2. Perubahan protombin menjadi trombin yang dikatalisasi oleh tromboplastin, faktor IV, V, VII dan X.
3. Perubahan fibrinogen menjadi fibrin dengan katalisator trombin, faktor trombosit I dan II.
Hemostatis yang baik berlangsung dalam batas waktu tertentu sehingga tidak hanya terbentuk tromboplastin, trombin dan fibrin saja yang penting, tetapi juga lama pembentukan masing-masing zat. Secara keseluruhan, mekanisme pembentukan mempunyai 2 fenomena dasar untuk jangka waktu berlangsungnya proses tersebut, yaitu tahap permulaan yang lambat disusul tahap autokatalitik yang sangat cepat. Trombin memegang peranan yang penting pada tahap yang cepat, di samping itu trombin menyebabkan trombosit menjadi lebih sehingga mudah melepaskan faktor trombosit dan meninggikan aktivitas tromboplasmin (Ngastiyah, 2005).
Mekanisme Fibrinolitik
Sistem fibrinolitik merupakan rangkaian yang fibrinnya dipecahkan oleh plasmin (fibrinolisin) menjadi produk-produk degradasi fibrin, menyebabkan hancurnya bekuan. Diperlukan beberapa interaksi untuk mengubah protein plasma spesifik inaktif di dalam sirkulasi menjadi enzim fibrinolitik plasmin aktif. Protein dalam bersikulasi (proaktivator plasminogen), dengan adanya enzim-enzim kinase seperti streptokinase, stafilokinase, kinase jaringan, serta faktor VIIa, dikatalisasi menjadi aktivator plasminogen. Dengan adanya enzim-enzim tambahan, seperti urokinase, maka aktivator-aktivator mengubah palsminogen, suatu protein plasma yang sudah bergabung dalam bekuan fibrin, menjadi plasmin. Kemudian plasmin memecahkan fibrin dan fibrinogen menjadi fragmen-fragmen (produk degradasi fibrin/ fibrinogen) yang mengganggu aktivitas trombin, fungsi trombosit, dan polimerisasi fibrin, menyebabkan hancurnya bekuan.
Dalam keadaan normal sistem fibrinolitik darah memegang peranan penting untuk mempertahankan sistem pembuluh darah bebas dari gumpalan fibrin, dan merupakan pelengkap sistem pembekuan
B. DEFINISI
Hemofilia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu haima yang berarti darah dan philia yang berarti cinta atau kasih sayang. Hemofilia adalah suatu penyakit yang diturunkan, yang artinya diturunkan dari ibu kepada anaknya pada saat anak tersebut dilahirkan (www.hemofilia.or.id).
Hemofilia adalah gangguan perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi herediter dan faktor darah esensial untuk koagulasi (Wong, 2003).
Hemofilia merupakan penyakit pembekuan darah kongenital yang disebabkan karena kekurangan faktor pembekuan darah, yaitu faktor VIII dan faktor IX. Factor tersebut merupakan protein plasma yang merupakan komponen yang sangat dibutuhkan oleh pembekuan darah khususnya dalam pembentukan bekuan fibrin pada daerah trauma (Hidayat, 2006).
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi kongenital paling sering dan serius. Kelainan ini terkait dengan defisiensi faktor VIII, IX atau XI yang ditentukan secara genetic (Nelson, 1999).
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang paling sering dijumpai, bermanifestasi sebagai episode perdarahan intermiten (Price & Wilson, 2005).
Hemofilia adalah penyakit gangguan pembekuan darah yang diturunkan melalui kromosom X. Karena itu, penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria karena mereka hanya mempunyai kromosom X, sedangkan wanita umumnya menjadi pembawa sifat saja (carrier). Namun, wanita juga bisa menderita hemofilia jika mendapatkan kromosom X dari ayah hemofilia dan ibu pembawa carrier. (http://www.info-sehat.com)

C. ETIOLOGI
1. Faktor kongenital
Bersifat resesif autosomal herediter. Kelainan timbul akibat sintesis faktor pembekuan darah menurun. Gejalanya berupa mudahnya timbul kebiruan pada kulit atau perdarahan spontan atau perdarahan yang berlebihan setelah suatu trauma.
Pengobatan: dengan memberikan plasma normal atau konsentrat factor yang kurang atu bila perlu diberikan transfuse darah.
2. Faktor didapat
Biasanya disebabkan oleh defisiensi factor II (protrombin) yang terdapat pada keadaan berikut:
 Neonatus, terutama yang kurang bulan karena fungsi hati belum sempurna sehingga pembekuan faktor darah khususnya faktor II mengalami gangguan.
Pengobatan: umumnya dapat sembuh tanpa pengobatan atau dapat diberikan vitamin K.
 Defisiensi vitamin K, hal ini dapat terjadi pada penderita ikterus obstruktif, fistula biliaris, absorbsi vitamin K dari usus yang tidak sempurna atau karena gangguan pertumbuhan bakteri usus.
 Beberapa penyakit seperti sirosis hati, uremia, sindrom nefrotik dan lain-lain
 Terdapatnya zat antikoagulansia (dikumarol, heparin) yang bersifat antagonistik terhadap protrombin.
 Disseminated intravascular coagulation (DIC).
Pengobatan ditunjukkan pada penyakit primernya, missal pemberian vitamin K. Di samping itu dapat pula diberikan darah, plasma dan lain-lain.
(IKA 1 FKUI, 1985)

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Masa bayi (untuk diagnosis)
a. Perdarahan berkepanjangan setelah sirkumsisi
b. Ekimosis subkutan diatas tonjolan-tonjolan tulang (saat berumur 3-4 bulan)
c. Hematoma besar setelah infeksi
d. Perdarahan dari mukosa oral
e. Perdarahan jaringan lunak
2. Episode perdarahan (selama rentang hidup)
a. Gejala awal, yaitu nyeri
b. Setelah nyeri, yaitu bengkak, hangat dan penurunan mobilitas
3. Sekuela jangka panjang
Perdarahan berkepanjangan dalam otot dapat menyebabkan kompresi saraf dan fibrosis otot.

Kompikasi :
1. Timbulnya inhibitor.
Inhibitor adalah cara tubuh untuk melawan apa yang dilihatnya sebagai benda asing yang masuk . Hal ini berarti segera setelah konsentrat faktor diberikan tubuh akan melawan dan akan menghilangkannya.
Suatu inhibitor terjadi jika sistem kekebalan tubuh melihat konsentrat faktor VIII atau faktor IX sebagai benda asing dan menghancurkannya.
Pada penderita hemofilia dengan inhibitor terhadap konsentrat faktor, reaksi penolaksan mulai terjadi segera setelah darah diinfuskaan. Ini berarti konsentrat faktor dihancurkan sebelum ia dapat menghentikan pedarahan.
2. Kerusakan sendi akibat perdarahan berulang.
Kerusakan sendi adalah kerusakan yang disebabkan oleh perdarahan berulang di dalam dan di sekitar rongga sendi. Kerusakan yang menetap dapat disebabkan oleh satu kali perdarahan yang berat (hemarthrosis). Namun secara normal, kerusakan merupakan akibat dari perdarahan berulang ulang pada sendi yang sama selama beberapa tahun. Makin sering perdarahan dan makin banyak perdarahan makin besar kerusakan.
Sendi yang paling sering rusak adalah sendi engsel seperti :
 Lutut
 Pergelangan kaki
 Siku
Sendi engsel ini hanya mempunyai sedikit perlindungan terhadap tekanan dari samping. Akibatnya sering terjadi perdarahan.
Sendi peluru yang mempunyai penunjang lebih baik, jarang terjadi perdarahan seperti :
 Panggul
 Bahu
Sendi pada pergelangan tangan, tangan dan kaki kadang - kadang mengalami perdarahan. Namun jarang menimbulkan kerusakan sendi.

3. Infeksi yang ditularkan oleh darah
Dalam 20 tahu terakhir, komplikasi hemofilia yang paling serius adalah infeksi yang ditularkan oleh darah. Di seluruh dunia banyak penderita hemofilia yang tertular HIV, hepatitis B dan hepatitis C. Mereka terkena infeksi ini dari plasma, cryopresipitat dan khususnya dari konsentrat factor yang dianggap akan membuat hidup mereka normal (Betz & Sowden, 2002).

E. KLASIFIKASI
Hemofilia terbagi atas dua jenis, yaitu :
1. Hemofilia A yang dikenal juga dengan nama:
a. Hemofilia klasik; karena jenis hemofilia ini adalah yang paling banyak kekurangan faktor pembekuan pada darah
b. Hemofilia kekurangan Factor VIII; terjadi karena kekurangan faktor 8 (Factor VIII) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.
2. Hemofilia B yang dikenal juga dengan nama:
a. Christmas disease; karena di temukan untuk pertama kalinya pada seorang bernama Steven Christmas asal Kanada
b. Hemofilia kekurangan Faktor IX; terjadi karena kekurangan faktor 9 (Factor IX) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.
Penderita hemofilia parah/ berat yang hanya memiliki kadar faktor VIII atau faktor IX kurang dari 1% dari jumlah normal di dalam darahnya, dapat mengalami beberapa kali perdarahan dalam sebulan. Kadang - kadang perdarahan terjadi begitu saja tanpa sebab yang jelas.
Penderita hemofilia sedang lebih jarang mengalami perdarahan dibandingkan hemofilia berat. Perdarahan kadang terjadi akibat aktivitas tubuh yang terlalu berat, seperti olah raga yang berlebihan.
Penderita hemofilia ringan lebih jarang mengalami perdarahan. Mereka mengalami masalah perdarahan hanya dalam situasi tertentu, seperti operasi, cabut gigi atau mangalami luka yang serius. Wanita hemofilia ringan mungkin akan pengalami perdarahan lebih pada saat mengalami menstruasi.
(http://www.hemofilia.or.id)

F. PATOFISIOLOGI
Hemofilia adalah penyakit koagulasi darah kongenital karena anak kekurangan factor pembekuan VII (hemofiliaA) atau faktor IX (hemofilia B atau penyakit Christmas). Keadaan ini adalah penyakit kongenital yang diturunkan oleh gen resesif X-linked dari pihak ibu. Faktor VIII dan faktor IX adalah protein plasma yang merupakan komponenen yang diperlukan untuk pembekuan darah, faktor-faktor tersebut diperlukan untuk pembentukan bekuan fibrin pada tempat pembuluh cedera. Hemofilia berat terjadi bila kosentrasi factor VIII dan IX plasma kurang dari 1%. Hemofilia sedang terjadi bila kosentrasi plasma antara 1% dan 5%, dan hemofilia ringan terjadi bila kosentrasi plasma antara 5% dan 25% dari kadar normal. Manifestasi klinisnya bergantung pada umur anak dan hebatnya defisiensi factor VIII dan IX. Hemofilia berat ditandai perdarahan kambuhan, timbul spontan atau setelah trauma yang relative ringan. Tempat perdarahan paling umum adalah di dalam persensian lutut, siku, pergelangan kaki, bahu, dan pangkal paha. Otot yang paling sering terkena adalah fleksor lengan bawah, gastroknemius, dan iliopsoas. Karena kemajuan dalam bidang pengobatan, hamper semua pasien hemofilia diperkirakan dapat hidup normal (Betz & Sowden, 2002).
Kecacatan dasar dari hemofilia A adalah defisiensi factor VIII antihemophlic factor (AHF). AHF diproduksi oleh hati dan merupakan factor utama dalam pembentukan tromboplastin pada pembekuan darah tahap I. AHF yang ditemukan dalam darah lebih sedikit, yang dapat memperberat penyakit. Trombosit yang melekat pada kolagen yang terbuka dari pembuluh yang cedera, mengkerut dan melepaskan ADP serta faktor 3 trombosit, yang sangat penting untuk mengawali system pembekuan, sehingga untaian fibrin memendek dan mendekatkan pinggir-pinggir pembuluh darah yang cedera dan menutup daerah tersebut. Setelah pembekuan terjadi diikuti dengan sisitem fibrinolitik yang mengandung antitrombin yang merupakan protein yang mengaktifkan fibrin dan memantau mempertahankan darah dalam keadaan cair.
Penderita hemofilia memiliki dua dari tiga faktor yang dibutuhkan untuk proses pembekuan darah yaitu pengaruh vaskuler dan trombosit (platelet) yang dapat memperpanjang periode perdarahan, tetapi tidak pada tingat yang lebih cepat. Defisiensi faktor VIII dan IX dapat menyebabkan perdarahan yang lama karena stabilisasi fibrin yang tidak memadai. Masa perdarahan yang memanjang, dengan adanya defisiensi faktor VIII, merupakan petunjuk terhadap penyakit von willebrand
Perdarahan pada jaringan dapat terjadi dimana saja, tetapi perdahan pada sendi dan otot merupakan tipe yang paling sering terjadi pada perdarahan internal. Perubahan tulang dan kelumpuhan dapat terjadi setelah perdarahan yang berulang-ulang dalam beberapa tahun. Perdarahan pada leher, mulut atau dada merupakan hal yang serius, sejak airway mengalami obstruksi. Perdarahan intracranial merupakan salah satu penyebab terbesar dari kematian . Perdarahan pada gastrointestinal dapat menunjukkan anemia dan perdarahan pada kavum retroperitoneal sangat berbahaya karena merupakan ruang yang luas untuk berkumpulnya darah. Hematoma pada batang otak dapat menyebabkan paralysis (Wong, 2001).
Bagaimana ganguan pembekuan darah itu dapat terjadi?
Gangguan itu dapat terjadi karena jumlah pembeku darah jenis tertentu kurang dari jumlah normal, bahkan hampir tidak ada. Perbedaan proses pembekuan darah yang terjadi antara orang normal(gambar 1) dan penderita hemofilia (gambar 2).
Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan pembuluh darah yang terluka di dalam darah tersebut terdapat faktor-faktor pembeku yaitu zat yang berperan dalam menghentikan perdarahan.
Prinsip Dasar Dari Suatu Keturunan
Setiap sel di dalam tubuh memiliki struktur - struktur yang di sebut kromosom (chromosomes). Didalam ilmu kimia, sebuah rantai kromosom yang panjang disebut DNA. DNA ini disusun kedalam ratusan unit yang di sebut gen yang dapat menentukan beberapa hal, seperti warna mata seseorang.
Setiap sel terdiri dari 46 kromosom yang disusun dalam 23 pasang. Salah satu pasangnya dikenal sebagai kromosom seks, atau kromosom yang menentukan jenis kelamin manusia. Wanita memiliki dua kromosom X dalam satu pasang, dan pria memiliki satu kromosom X, dan satu kromosom Y dalam satu pasang.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Uji skrining untuk koagulasi darah
a. Jumlah trombosit (normal 150.000-450.000 tombosit per mm3 darah)
b. masa protombin (normal memerlukan waktu 11-13 detik)
c. Masa tromboplastin parsial (meningkat, mengukur keadekuatan faktor koagulasi intrinsik)
d. Assays fungsional terhadap faktor VIII dan IX (memastikan diagnosis)
e. Masa pembekuan trombin (normalnya 10-13 detik)
2. Biopsi hati (kadang-kadang) digunakan untuk memperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi dan kultur.
3. Uji fungsi faal hati (kadang-kadang) digunakan untuk mendeteksi adanya penyakit hati (misalnya, serum glutamic-piruvic transaminase [SPGT], serum glutamic-oxaloacetic transaminase [SGOT], fosfatase alkali, bilirubin).
(Betz & Sowden, 2002)

I. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan yang diberikan untuk mengganti factor VIII atau faktot IX yang tidak ada pada hemofilia A diberikan infus kriopresipitas yang mengandung 8 sampai 100 unit faktor VIII setiap kantongnya. Karena waktu paruh faktor VIII adalah 12 jam sampai pendarahan berhenti dan keadaan menjadi stabil. Pada defisiensi faktor IX memiliki waktu paruh 24 jam, maka diberikan terapi pengganti dengan menggunakan plasma atau konsentrat factor IX yang diberikan setiap hari sampai perdarahan berhenti. Penghambat antibody yang ditunjukkan untuk melawan faktor pembekuan tertentu timbul pada 5% sampai 10% penderita defisiensi faktor VIII dan lebih jarang pada faktor IX infase selanjutnya dari faktor tersebut membentuk anti bodi lebih banyak. Agen-agen imunosupresif, plasma resesif untuk membuang inhibitor dan kompleks protombin yang memotong faktor VIII dan faktor IX yang terdapat dalam plasma beku segar. Produk sintetik yang baru yaitu: DDAVP (1-deamino 8-Dargirin vasopressin) sudah tersedia untuk menangani penderita hemofilia sedang. Pemberiannya secara intravena (IV), dapat merangsang aktivitas faktor VIII sebanyak tiga kali sampai enam kali lipat. Karena DDAVP merupakan produk sintetik maka resiko transmisi virus yang merugikan dapat terhindari.
Hematosis bisa dikontrol jika klien diberi AHF pada awal perdarahan. Immobilisasi sendi dan udara dingin (seperti kantong es yang mengelilingi sendi) bisa memberi pertolongan. Jika terjadi nyeri maka sangat penting untuk mengakspirasi darah dan sendi. Ketika perdarahan berhenti dan kemerahan mu;ai menghilang klien harus aktif dalam melakukan gerakan tanpa berat badan untuk mencegah komplikasi seperti deformitas dan atrofi otot.
Prognosis untuk seorang yang menderita hemofilia semakin bertambah baik ketika ditemukannya AHF. 50% dari penderita hemofilia meninggal sebelum mencapai umur 5 tahun. Pada saat ini kejadian kematian jarang terjadi setelah trauma minor. Infusi di rumah menggunakan AHF meyakinkan pengobatan bahwa manifestasi pertama dari perdarahan dan komplikasi diatasi. Program training dengan panduan yang ketat. Ketika panduan ini diikuti dengan baik seseorang yang menderita hemofili akan sangat jarang berkunjung ke ruang imergensi.
Analgesik dan kortikosteroid dapat mengurangi nyeri sendi dan kemerahan pada hemofilia ringan pengguna hemopresin intra vena mungkin tidak diperlukan untuk AHF.
sistem pembekuan darah yang sifatnya hanya sementara, sehingga tidak perlu dilakukan transfusi.
Biasanya pengobatan meliputi transfuse untuk menggantikan kekurangan faktor pembekuan.
Faktor-faktor ini ditemukan di dalam plasma dan dalam jumlah yang lebih besar ditemukan dalam plasma konsentrat.
Beberapa penderita membentuk antibodi terhadap faktor VIII dan faktor IX yang ditransfusikan, sehingga transfusi menjadi tidak efektif.
Jika di dalam darah contoh terdapat antibodi, maka dosis plasma konsentratnya dinaikkan atau diberikan factor pembekuan yang berbeda atau diberikan obat-obatan untuk mengurangi kadar antibodi.
Kandungan :
Kriopresipitas : fresh frozen plasma
8-100 unit antihemophilic globulin
Faktor VIII : 2332 asam amino
AHF : fresh frozen plasma

2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penderita hemofilia harus menyadari keadaan yang bisa menimbulkan perdarahan. Mereka harus sangat memperhatikan perawatan giginya agar tidak perlu menjalani pencabutan gigi.
Istirahatkan anggota tubuh dimana ada luka. Bila kaki yang mengalami perdarahan, gunakan alat Bantu seperti tongkat.
Kompreslah bagian tubuh yangterluka dan daerah sekitarnya dengan es atau bahan lain yang lembut & beku/dingin.
Tekan dan ikat, sehingga bagian tubuh yang mengalami perdarahan tidak dapat bergerak (immobilisasi). Gunakan perban elastis namun perlu di ingat, jangan tekan & ikat terlalu keras.
Letakkan bagian tubuh tersebut dalam posisi lebih tinggi dari posisi dada dan letakkan diatas benda yang lembut seperti bant
(http://www.medicastore.com)
J. DISCHARGE PLANNING
Perawatan Kesehatan Secara Umum
Apa yang dibutuhkan oleh seorang penderita hemofilia untuk menjaga kondisi tubuh yang baik ?
1. Mengkonsumsi makanan/minuman yang sehat dan menjaga berat tubuh tidak berlebihan. Karena berat berlebih dapat mengakibatkan perdarahan pada sendi-sendi di bagian kaki (terutama pada kasus hemofilia berat).
2. Melakukan kegiatan olahraga. Berkaitan dengan olah raga, perhatikan beberapa hal berikut:
 Olah raga akan membuat kondisi otot yang kuat, sehingga bila terbentur otot tidak mudah terluka dan perdarahan dapat dihindari.
 Bimbingan seorang fisio-terapis atau pelatih olah raga yang memahami hemofilia akan sangat bermanfaat.
 Bersikap bijaksana dalam memilih jenis olah raga; olah raga yang beresiko adu fisik seperti sepak bola atau gulat sebaiknya dihindari. Olah raga yang sangat di anjurkan adalah renang.
 Bimbingan seorang fisio-terapis dari klinik rehabilitasi medis diperlukan pula dalam kegiatan melatih otot pasca perdarahan.
3. Rajin merawat gigi dan gusi dan melakukan pemeriksaan kesehatan gisi dan gusi secara berkala/rutin, paling tidak setengah tahun sekali, ke klinik gigi
4. Mengikuti program imunisasi. Catatan bagi petugas medis adalah suntikan imunisasi harus dilakukan dibawah kulit (Subkutan) dan tidak ke dalam otot, diikuti penekanan lubang bekas suntikan paling sedikit 5 menit.
5. Menghindari penggunaan Aspirin, karena aspirin dapat meningkatkan perdarahan. Penderita hemofilia dianjurkan jangan sembarang mengkonsumsi obat-obatan. Langkah terbaik adalah mengkonsultasikan lebih dulu kepada dokter.
6. Memberi informasi kepada pihak-pihak tertentu mengenai kondisi hemofilia yang ada, misalnya kepada pihak sekolah, dokter dimana penderita berobat, dan teman-teman di lingkungan terdekat secara bijaksana.
7. Memberi lingkungan hidup yang mendukung bagi tumbuhnya kepribadian yang sehat agar dapat optimis dan berprestasi bersama hemofilia.
Perawatan Kesehatan Khusus
Perawatan kesehatan khusus diberikan ketika penderita hemofilia mengalami luka atau perdarahan. Perdarahan dapat terjadi di bagian dalam dan luar tubuh. Perdarahan di bagian dalam tubuh umumnya sulit atau tidak terlihat mata. Pada kondisi ini diperlukan kewaspadaan dan pertolongan segera. Kewaspadaan juga diperlukan karena perdarahan dapat terjadi tanpa sebab yang jelas.
Kewaspadaan lainnya yang harus dilakukan apabila terjadi benturan keras pada kepala penderita. Penderita hendaknya segera dibawa kerumah sakit terdekat untuk dapat dirawat secara khusus dan seksama oleh dokter. Karena perdarahan yang terjadi pada kepala dapat berakibat buruk bahkan hingga sampai pada keadaan yang mematikan. (http://www.hemofilia.or.id)



ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK
DENGAN HEMOFILIA

I. PENGKAJIAN
a. Lakukan pengkajian fisik
b. Dapatkan riwayat kesehatan, khususnya mengenai bukti penyakit pada saudara pria.
Penyakit hemofilia lebih banyak terjadi pada pria karena mereka hanya mempunyai kromosom X.
 Apakah pada riwayat keluarga ibu ada yang pernah menderita gangguan pembekuan darah, terutama pada saudara laki-laki?
c. Observasi adanya manifestasi hemofilia
 Perdarahan yang berkepanjangan di mana saja dari atau di dalam tubuh.
 Apakah anak ibu pernah mengalami perdarahan pada tubuh yang tidak dapat berhenti/ tidak dapat membeku?
 Hemoragi karena trauma, misalnya kehilangan gigi desidua, sirkumsisi, terpotong, eptistaksis, injeksi.
 Apakah anak ibu pernah mengalami perdarahan yang tidak dapat berhenti setelah disuntik/ gigi tanggal/ disunat (bagi anak laki-laki)?
 Memar berlebihan karena cedera ringan, seperti jatuh.
 Apakah ketika anak ibu terjatuh/ terbentur, ia selalu mengalami kebiruan pada kulitnya secara berlebihan?
 Hemoragi subkutan dan intramuscular
 Apakah setiap kali disuntik anak ibu selalu mengeluarkan darah?
 Hemartrosis (perdarahan karena rongga sendi), khususnya lutut, pergelangan kaki, dan siku.
 Apakah anak ibu pernah mengalamai pedarahan pada sendinya, mungkin ketika ia sedang belajar berjalan?
 Hematoma, nyeri, bengkak, dan gerakan terbatas
 Apakah ketika mengalami cedera ringan, anak ibu selalu merasa sangat nyeri pada daerah cedera dan terjadi bengkak?
 Hematuria spontan
 Apakah anak ibu pernah buang air kecil yang disertai darah secara tiba-tiba?
d. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian, misalnya tes koagulasi, penentuan faktor defisiensi khusus, pengujian DNA.

II. DIAGNOSA
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan suplai O2 ke jaringan tidak adekuat
b. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan hemoragi.
c. Nyeri berhubungan dengan perdarahan dalam jaringan
d. Resiko tinggi gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan efek hemoragi dalam sendi.
e. Gangguan volume cairan berhubungan dengan syok hipovolemik.

III. INTERVENSI
a. 1. Berikan posisi datar pada anak dengan kaki ditinggikan.
2. Catat perubahan dalam tingkat kesadaran keluhan sakit kepala, pusing, terjadinya deficit sensori, motorik pada anak
3. Pantau tanda-tanda vital
4. Pertahankan suhu lingkungan
5. Berikan SDM darah lengkap, produk darah
Anjurkan ambulasi dan latihan dini
6. Sesuai indikasi, awasi ketat untuk komplikasi transfuse
b. 1. Siapkan dan berikan konsentrat faktor VII.
2. Ajari pemberian darah di rumah
3. Lakukan tindakan penunjang
a. Berikan tekanan pada area selama 10-15 menit
b. Imobilisasi dan tinggikan area di atas jantung
c. Berikan kompres dingin
Ciptakan lingkungan seaman mungkin dengan
Diskusikan pertimbangan diet
4. pengawasan ketat.
5. Hindari latihan rentang gerak pasif setelah episode perdarahan.
c. 1. Catat lokasi, karakteristik, dan beratnya nyeri meliputi verbal dan non verbal. (diketahui dengan pendekatan (QUESTT)
2. Lakukan strategi non farmakologis untuk membantu anak mengatasi nyeri. Distraksi:
a. Libatkan anak dalam bermain, gunakan radio, tape perekam, alat perekam. Minta anak bernyanyi atau menggunakan pernafasan berirama
b. Minta anak mengambil nafas dalam dan meniupkannya sampai diberitahu untuk berhenti.
3. Gunakan strategi yang dikenal anak dan biarkan teknik distraksi anak memilih salah satunya missal memilih dengan nafas dalam dan meniupkannya sampai diberitahu untuk berhenti
4. Libatkan orangtua dalam pemilihan strategi

5. Ajarkan orang tua dalam memilih tindakan untuk mengurangi nyeri:
a. Meletakkan bayi tidur di atas perut ibunya
b. Membungkus bayi dengan erat dalam selimut

Kolaborasi:
Berikan obat analgesic sesuai indikasi, dengan memberi tahu bahwa anak akan merasa lebih baik
d. 1. Kaji kebutuhan akan penatalaksanaan nyeri
2. Berikan terapi pengganti dan gunakan tindakan local
3. Tinggikan dan imobilisasi sendi selama episode perdarahan
4. Lakukan latihan rentang gerak aktif setelah fase akut
Latih sendi dan otot yang sakit
5. Jelaskan pada keluarga akibat jangka panjang yang serius dari hemartrosis
6. Diskusikan pertimbangan diet
Kolaborasi:
1. Konsultasi dengan ahli terapi fisik mengenai program latihan
2. Rujuk pada perawat kesehatan masyarakat dan atau ahli terapi untuk pengawasan di rumah
e. 1. Ukur pemasukan dan pengeluaran secara akurat.
2. Berikan cairan yang diizinkan selama periode 24 jam.
3. Awasi tekanan darah dan frekuensi jantung.
4. Perhatikan tanda dan gejala dehidrasi. Contoh : membran mukosa kering, haus.
5. Kontrol suhu lingkungan : batasi line tempat tidur.
Kolaborasi :
Awasi pemeriksaan labolatorium. Contoh : natrium.